Program Dandan Omah atau Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) di Kota Surabaya dikeluhkan warga. Program pemkot yang menyasar keluarga miskin dengan rumah tidak layak huni ini dinilai makin rumit persyaratannya.
Keluhan ini muncul di salah satu pertemuan reses anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya Asrhi Yuanita Haqie. Menurutnya, proses untuk mendaftar bantuan rutilahu ini makin sulit.
“Salah satu persoalannya, pendaftar harus masuk kategori gamis (keluarga miskin),” kata Asrhi saat ditemui di kantornya.
Tidak semua warga miskin di Surabaya, lanjut Asrhi, mendapat label gamis dengan stiker di rumahnya.
Politisi PDIP ini menegaskan, kategori gamis di Surabaya tidak bisa ditentukan dari satu variabel saja. Misalnya orang dengan pendapatan UMR kemudian orang tersebut dikeluarkan dari kategori gamis.
“Selain dilihat dari pendapatan, juga musti kita lihat pengeluaran dia. Ada orang yang pendapatan UMR tapi dia menanggung beban lebih. Mungkin dia tulang punggung keluarga, mungkin juga dia anak yatim piatu yang masih punya adik-adik,” terang Asrhi.
Dari hasil reses, Asrhi berharap pemkot bisa mempertimbangkan variabel-variabel untuk menyusun kategori gamis.
“Harapan kita, semua administrasi dipermudah,” ujarnya.
Selain itu, keluhan warga juga muncul terkait keberadaan sekolah negeri di kawasan Kenjeran.
Yang pertama, lanjut Asrhi, karena jarak (zonasi). Misalnya anak itu tinggal di Kalilom Kecamatan Kenjeran.
“Secara zonasi masuk Kenjeran jauh, masuk Tambaksari juga jauh. Akhirnya mereka ngga dapat sekolah,” ujar Asrhi.
Dari akte, tambah Asrhi, berapa tahun kemudian, jumlah anak dengan umur sekian, harusnya dari data tersebut sudah nampak untuk kajian. Dinas Pendidikan Kota Surabaya harus aktif mendata kebutuhan sekolah.
“Harusnya memang nambah (jumlah sekolah negeri, Red),” pungkasnya. (Nor)
Leave feedback about this