Sebagai kota metropolitan, Surabaya masih punya banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Salah satu masalah nyata adalah banjir tahunan yang tidak bisa dihindari. Untuk itu, DPRD Surabaya menyusun raperda pengendalian dan penanggulangan banjir.
Regulasi tersebut ditetapkan menjadi raperda usulan prakarsa dewan dalam sidang paripurna Senin (16/1/2023). Juru bicara Badan Pembentukan Perda (BPP) DPRD Kota Surabaya Cahyo Siswa Utomo berharap raperda ini menjadi solusi banjir di Kota Pahlawan bisa dihentikan secara permanen dan bertahap.
“Diharapkan, banjir di Surabaya bisa dihentikan permanen dan bertahap,” tutur Cahyo, Senin (16/1/2023).
Ia juga menyampaikan, raperda tersebut diharapkan menjadi solusi atas persoalan banjir. Apalagi selama ini terjadi kekosongan aturan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan dan pengendalian banjir.
“Kami ingin raperda ini menjadi panduan dalam penanggulangan banjir ke depan,” tambahnya.
Raperda yang memiliki 49 pasal dan 12 bab itu mengatur sejumlah ruang lingkup. Diantaranya yakni, penyelenggaraan sistem drainase daerah, pengolahan sungai, penyediaan ruang resapan air, satuan tugas pengendalian dan penanggulangan banjir daerah, sistem pengendalian dan penanggulangan banjir berbasis teknologi informasi, partisipasi masyarakat dan pelaku usaha, serta pembiayaan.
Cahyo menambahkan, banjir merupakan suatu masalah yang sampai saat ini perlu mendapat penganganan khusus dari berbagai pihak baik dari pemerintah maupun masarakat. Banjir bukan masalah ringan.
Selama ini, di Surabaya banjir lazim terjadi di area-area padat penduduk. Hal ini merupakan akibat dari kurangnya daerah resapan yang disebabkan masifnya permukiman yang tidak memiliki sistem drainase yang baik. Kondisi tersebut menyebabkan beberapa kawasan di Surabaya masih terjadi genangan air sehingga berdampak kepada kesehatan warga.
Cahyo menyebutkan, ada beberapa masalah teknis yang menyebabkan Surabaya tidak bisa terbebas dari persoalan banjir. Diantaranya adalah penggunaan ruang wilayah yang tidak sesuai dengan penataan ruang yang telah ditetapkan, tidak terintegrasinya sistem drainase lingkungan dengan sistem drainase kota akibat rendahnya pengawasan terhadap pelaku pembangunan dan permukiman, pembangunan drainase yang selalu mengutamakan betonisasi sehingga mengurangi kemampuan resapan air, pelaksanaan konstruksi pada penyelenggaraan drainase yang masih parsial dan tidak mengutamakan pembangunan berkelanjutan pada titik yang telah dibangun, juga rendahnya kesadaran masyarakat untuk menyediakan resapan air secara mandiri.
“Dan juga belum adanya kewajiban bagi pelaku pembangunan perumahan dan permikiman dengan luasan tertentu di Kota Surabaya untuk membangun dan mengembangkan danau atau bozem sendiri pada wilayah perumahan dan permukiman,” terang Cahyo.
Salah satu upaya strategis adalah penyediaan ruang resapan air. Itu diatur dalam pasal 34, 35 dan 36. Penyediaan ruang resapan air diwajibkan untuk pemerintah, badan hukum, perseorangan hingga pengembang perumahan. (Nor)