Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Surabaya, Enny Minarsih secara resmi menyampaikan laporan hasil pembahasan ketiga raperda tersebut dalam rapat Paripurna Senin (8/12/2025).
“Ketiga raperda ini disusun berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat Surabaya dan perkembangan hukum yang terus berjalan. Kami harap dengan dibentuknya peraturan ini, kebijakan pemerintah daerah dapat lebih terarah dan memberikan manfaat nyata,” kata Enny.
Raperda pertama yang dibahas yakni usul prakarsa Komisi D DPRD Surabaya tentang kesehatan ibu dan anak. Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) dijadikan indikator utama karena mencerminkan aksesibilitas layanan kesehatan universal dan kualitas hidup masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), AKI di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 189 jiwa per 100.000 kelahiran hidup – menjadikan Indonesia salah satu negara dengan AKI tertinggi di Asia Tenggara. Kondisi ini masih jauh dari target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGS) yang menargetkan AKI di bawah 70/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030.
Laporan tahun 2016 menunjukkan penyebab langsung kematian ibu didominasi oleh komplikasi medis: hipertensi dalam kehamilan (33 persen), pendarahan obstetri (27 persen), komplikasi non-obstetrik (15,7 persen), komplikasi obstetrik lainnya (12,4 persen), infeksi (6,6 persen), dan penyebab lainnya (4,18 persen). Selain itu, kematian juga dapat terjadi pada kehamilan kurang dari 20 minggu akibat aborsi atau keguguran.
Faktor non-medis juga berperan besar, antara lain ketidaksetaraan gender, jarak kelahiran yang terlalu dekat, norma sosial, marginalisasi, rendahnya tingkat pendidikan, kemiskinan, dan hambatan akses layanan kesehatan seperti kurangnya informasi, keterlambatan mendapatkan pertolongan darurat, dan deteksi dini yang tidak optimal.
Dalam raperda ini, diatur peningkatan kualitas tenaga kesehatan melalui pemenuhan rasio dan kompetensi, serta peningkatan sarana dan prasarana kesehatan untuk ibu, bayi baru lahir, dan anak balita.
“Peraturan ini akan menjadi pedoman yang sistematis dan terkontrol untuk meningkatkan layanan kesehatan ibu dan anak di Surabaya,” jelas Enny.

Raperda kedua adalah usul prakarsa Komisi A tentang penyelenggaraan ketertiban umum, ketenteraman masyarakat, dan perlindungan masyarakat. Urusan ini termasuk dalam urusan pemerintahan konkuren yang wajib diselenggarakan setiap satuan pemerintahan, termasuk Kota Surabaya.
Sebelumnya, Surabaya telah memiliki Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2014 tentang penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, yang kemudian diubah dengan Perda No. 2 Tahun 2020. Namun, ketentuan dalam peraturan tersebut dinilai tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang dan perkembangan hukum terkini.
“Kebutuhan akan ketertiban dan ketenteraman masyarakat terus berubah seiring waktu. Oleh karena itu, perlu dilakukan penggantian peraturan untuk memberikan kepastian hukum dan menjawab persoalan yang muncul di masyarakat,” papar Enny.
Kewenangan Surabaya dalam menyelenggarakan urusan ini juga telah ditentukan dalam Lampiran Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Raperda ketiga adalah usul prakarsa Bapemperda sendiri tentang perubahan atas Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2019 tentang kawasan tanpa rokok. Perubahan ini diperlukan setelah Presiden dan DPR menetapkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mencabut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
UU Kesehatan 2023 mengatur penguatan kawasan tanpa rokok dalam Pasal 151 dan Pasal 437 ayat 2. Pasal 151 menyebutkan bahwa kawasan tanpa rokok meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat belajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum.
Selain itu, pemerintah daerah ditugaskan untuk menetapkan dan mengimplementasikan kawasan tanpa rokok dengan mempertimbangkan aspek politik, serta pengelola tempat kerja dan umum wajib menyediakan tempat khusus untuk merokok. Pasal 437 ayat 2 juga mengatur pidana denda paling banyak Rp50.000.000 bagi siapa pun yang melanggar aturan kawasan tanpa rokok.
Perda Surabaya No. 2 Tahun 2019 sebelumnya bersumber pada UU No. 36 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 yang telah dicabut, sehingga berpotensi bertentangan dengan UU No. 17 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaannya. Evaluasi menunjukkan ketidakselarasan dalam ketentuan umum, lingkup kawasan tanpa rokok, dan kewajiban pengelola tempat.
“Kami perlu menyesuaikan peraturan daerah agar tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Ini penting untuk menjaga kepastian hukum dan efektifitas implementasi kawasan tanpa rokok di Surabaya,” jelas Enny.
Setelah pembahasan di rapat paripurna, ketiga raperda akan melanjutkan tahap penyempurnaan sebelum disahkan menjadi peraturan daerah yang resmi.(Nor)



Leave feedback about this