Memiliki sistem transportasi massal menjadi impian warga Surabaya. Wajar saja, di Kota Metropolitan sekelas Surabaya keberadaan sistem transportasi massal yang bisa diandalkan menjadi kebutuhan utama untuk menunjang mobilitas warganya. Oleh karena itu, memperbaiki sistem transportasi massal kerap menjadi janji politik di setiap era kepemimpinan Kota Pahlawan.
Sejak beberapa tahun yang lalu, warga Surabaya telah dijanjikan perbaikan sistem transportasi massal. Mulai dari rencana pengadaan trem, rapid bus, hingga transportasi massal antar kampung. Beberapa dari janji tersebut perlahan mulai terwujud. Mulai dari adanya Suroboyo Bus yang memiliki inovasi pembayaran dengan sampah plastik. Suroboyo Bus menjelma menjadi kebanggaan Kota Surabaya. Sebab tak hanya menawarkan konsep go greennya, Suroboyo Bus menjadi jawaban atas permintaan moda transportasi aman, nyaman, dan murah.
Salah satu kelemahan transportasi bus merah tersebut ialah jangkauannya. Maklum, jumlah armada yang tersedia kala itu hanya mampu menjangkau beberapa wilayah saja. Menjawab kelemahan tersebut, Pemerintah Kota Surabaya kemudian menambah jumlah armadanya.
Namun tetap saja, dengan moda transportasi berupa bus, tentu akan sulit menjangkau seluk beluk perkampungan di Surabaya. Memperluas jangkauan sistem transportasi yang nyaman, aman, dan murah menjadi tantangan bagi Pemkot Surabaya saat ini. Tapi tantangan tersebut tak mudah untuk dijawab. Sebab, anggaran yang digelontorkan dinilai belum mampu meningkatkan kualitas sistem transportasi massal di Surabaya.
Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Aning Rahmawati. Menurutnya, anggaran untuk sistem transportasi massal yang saat ini digodok dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) tahun 2023 dinilainya masih kurang mumpuni.
“Memang ada kenaikan anggaran, namun tidak signifikan. Tahun 2022 anggaran di sektor transportasi massal sebesar Rp 70 miliar. Sedangkan untuk 2023 hanya naik sedikit menjadi Ro 78 miliar,” ujarnya, Selasa (16/8/2022).
Melihat plafon anggaran ini, Aning mengaku merasa miris. Ia menilai keberpihakan Pemkot Surabaya terhadap moda transportasi massal di Kota Pahlawan kurang kuat bila dilihat dari anggaran yang tengah dibahas. Apalagi anggaran sebesar Rp 78 miliar tersebut tidak murni digunakan untuk moda transportasi.
“Pemkot harus melakukan penguatan anggaran. Terutama untuk moda transportasi seperti penambahan feeder, sarana dan prasarana termasuk halte yang aman dan layak, serta trunk Suroboyo Bus. Sehingga betul-betul bisa menjadi alternatif moda transportasi massal di Surabaya,” jelasnya.
Dengan kondisi seperti itu, impian warga Surabaya untuk segera memiliki sistem transportasi yang berkualitas tentu harus memakan waktu lebih lama lagi. Ini saja masih berkutat di rapid bus, apalagi mewujudkan moda transportasi lain seperti Trem, MRT, Monorel, hingga LRT.