Raperda Perlindungan Anak masih tengah digodog oleh DPRD Kota Surabaya. Ketua Pansus Raperda Perlindungan Anak Tjujuk Supariono mengaku tidak terburu-buru menyelesaikannya. Banyak pihak yang musti bersinergi mewujudkan Surabaya Kota Layak Anak. Raperda Perlindungan Anak musti dibahas secara terperinci dan hati-hti.
Tjutuk menyampaikan, raperda itu terdiri dari 30 pasal. Di pertengahan Januari 2023 ini sudah 16 pasal yang kelar dibahas.
“Sudah 16 pasal yang kami selesaikan. Pembahasan yang terakhir kemarin yakni peran masyarakat dan keluarga untuk menjamin pendidikan dan kesejahteraan anak,” kata Tjujuk, Selasa (11/1/2023).
Pembahasan ini tidak terlepas dari upaya Tjujuk yang ingin anak-anak usia dini dari para buruh tetap terjamin pendidikan dan kesejahteraannya. Tjujuk menyampaikan, alangkah baiknya bila ada Tempat Penitipan Anak (TPA) atau baby day care yang dikelola Pemerintah Kota Surabaya khusus untuk anak-anak usia dini yang orang tuanya bekerja sebagai buruh.
“Kami ingin ada TPA gratis dengan kualitas yang tidak kalah dengan TPA berbayar. Jadi, anak-anak yang orang tuanya bekerja sebagai buruh pabrik, tetap terpantau gizi dan tumbuh kembangnya,” tambah politikus PSI tersebut.
Ia menjelaskan, biasanya para buruh itu menitipkan anak-anaknya ke tetangga atau bahkan saudara yang juga sibuk mencari penghasilan. Ini rawan, menurutnya.
Maka, ide TPA gratis ini memang harus disupport dan bersinergi dengan banyak pihak. Dinas kesehatan bisa ikut andil dan mensupport di bidang tumbuh kembang.
“Setiap harinya anak yang dititipkan di TPA dipantau stunting apa tidak. Kemudian Disnaker juga membuka peluang pekerjaan untuk pengasuh anak, pengangguran berkurang. Lebih bagus lagi kalau anak-anak tersebut selama dititipkan juga diberi edukasi kurikulum PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini),” tuturnya.
Raperda ini juga membahas tentang pencegahan pernikahan dini. Ini adalah salah satu pasal krusial yang harus dibahas terperinci. Menurutnya pemkot harus mencegah timbulnya pernikahan dini. Tjujuk mengacu pada Undang-Undang 16/2019 tentang perkawinan.
“Bahwa batas usia minimal laki-laki dan perempuan untuk melakukan pernikahan adalah 19 tahun. Masukan dari Dinas Kesehatan, perempuan usia di bawah 19 tahun, organ tubuhnya juga belum siap untuk menjadi ibu,” papar Tjujuk.
Contoh kasus, bila ada perempuan hamil (di bawah usia 19 tahun) yang merupakan korban kekerasan seksual, pemkot sudah semestinya bisa menjamin pendidikan dan kesehatan keduanya.
“Anak dari korban kekerasan dijamin, ibunya juga dijamin pendidikan dan kesehatan. Ibunya dididik supaya menjadi ibu yang bijak,” pungkas Tjujuk. (Nor)